Jumat, 12 April 2013

perdukunan versus globalisasi



Perdukunan vs globalisasi
Perdukunan adalah istilah penghinaan yang digunakan untuk menggambarkan praktik non medis ujungnya penipuan. Perdukunan merupakan kepura-puraan keterampilan non medis atau orang yang berpura-pura sebagai seorang ahli profesional, memiliki pengetahuan atau kualifikasi pada beberapa bidang keahlian, padahal dia tidak memiliki dan merupakan Seorang penipu. Kecenderungan manusia adalah tidak merasa nyaman berada dalam keadaan bingung terlalu lama.  Terutama jika menyangkut kebingungan untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut masa depannya dan dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit.  Untuk mendapatkan kepastian yang bisa dipakai dasar untuk memutuskan kadang menempuh jalan singkat melampaui batas penalaran sehat.
Ketidak-pastian masa depan itu disebabkan oleh banyak hal.  System yang ada di lingkup sosial tidak memberinya jalan keluar.  Usaha riil dianggapnya telah buntu karena terbatasnya sumber pendukung yang diperlukan. Misalnya keadaan finansial yang terbatas, tidak didapatkannya dukungan moral dari orang terdekat, keterbatasan kemampuan diri yang tak mungkin diubah secara cepat, cara pikir yang kurang matang, pengetahuan yang minim, pengalaman hidup yang kurang luas dan sebagainya. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang-orang yang terjebak pada fenomena perdukunan. Batas antara rasionil dan irasionil begitu kabur bagi orang-orang yang terdesak keadaan. Wajarlah kalau mereka akhirnya terperosok dalam daerah remang-remang tersebut.
Orang yang melakukan perdukunan biasanya tidak sendiri, mereka biasanya terdiri dari beberapa orang merupakan satu TIM yang modus operasinya adalah penipuan. Untuk mencari mangsa ada orang-orang yang bertindak sebagai orang yang mempromosikan bidang keahlian si dukun itu, padahal promosinya omong kosong dan penipu. Jika ada mangsa yang sudah masuk perangkap maka mulai diadakan perjanjian untuk pergi ke rumah sang Dukun. Dengan trik perdukunan si Mbah Dukun bisa menebak isi hati dan kemauan pasien, inilah salah satu penipuan yang bisa menjatuhkan martabat Dukun yang asli.
Pada mulanya Dukun adalah orang-orang penolong tanpa pamrih. Dengan adanya Penipu yang menyamar sebagai Dukun ini maka dikenalah istilah Perdukunan yang nilainya negatif di masyarakat luas yaitu diasosiakan sebagai Seorang penipu.
Untuk menipu mangsanya biasanya menawarkan zimat maupun benda-benda bertuah yang harganya mahal, padahal ini merupakan tata cara penipuan yang halus jalannya. Ada juga penipu yang menyamar sebagai orang yang taat beragama dan dengan TIM-nya itu sebenarnya merupakan Penipu-penipu yang menyamar sebagai orang-orang taat beragama, ini juga sebenarnya Perdukunan yang berada pada jalur agama. Cara menipunya dengan minyak wangi yang harganya jutaan rupiah dan bahkan ada yang sampai ada minyak wangi yang harganya sampai diatas sepuluh juta rupiah padahal isinya cuman sedikit dengan botol khusus ukurannya kecil.
Sementara di Indonesia fenomena klinik dan supernatural malah menemukan ladang subur.  Tidak ada organisasi yang secara langsung berusaha mengajarkan masyarakat untuk berpikir dengan menggunakan rasio. Cara berpikiran rasionil diserahkan pada institusi resmi pemerintah lewat lembaga pendidikan. Padahal lembaga pendidikan hanya bersifat rasional keilmuan dan tidak sepenuhnya memberi bekal cara pikir rasionil dalam menghadapi fenomena hidup keseharian.
Di era reformasi dan Globalisasi dunia politik dan pemilihan umum mengikut sertakan       dukun di dalamnya. Meski perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, bagi pencari untung tetap saja ke para dukun untuk sekadar membangun rasa percaya diri sebelum pelaksanaan pemilu. Boleh saja tingkat elektabilitas calon dan partai rendah dari berbagai hasil survei. Namun ucapan dan nasihat sang dukun seperti nubuat tertanam dalam alam sadar sang pasien.

Politikus dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Permadi mengakui hal itu. Bahkan, Permadi menuturkan perdukunan politik di Indonesia sudah menjamur hingga semua level politik. "Mulai dari pemilihan lurah sampai presiden selalu ada calon menemui dukun atau orang dianggap memiliki kekuatan spiritual," katanya ketika dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya Kamis pekan lalu.
Permadi menilai pertemuan dunia politik dan perdukunan terkait budaya dan cara menghormati alam. Namun bagi Permadi, konsultasi calon ke dukun sudah dianggap lumrah. Meski begitu, kepercayaan dan konsultasi kepada dukun untuk menaikkan tingkat elektabilitas adalah pilihan masing-masing. Dia menjelaskan kadang ada orang-orang tertentu sengaja sok tidak percaya dengan perilaku itu. "Kadang kita munafik dengan perilaku itu dan pura-pura tidak tahu," ujar Permadi.
Dia menekankan hampir semua pemimpin Indonesia percaya dengan orang-orang pintar bisa membantu mereka. Dia mencontohkan mendiang Presiden Soekarno dan Soeharto terkenal kuat bertapa atau menyendiri di tempat sunyi, kemudian bertemu orang-orang di pelbagai pelosok negeri memiliki kesaktian.
Presiden Gus Dur selalu mengutip memiliki guru spiritual tidak pernah disebut namanya saat menjabat atau paling banter menyebut para kiai langitan. Bahkan, menurut Permadi, Presiden Habibie dikenal begitu rasional juga sama. "Apa berani Habibie membangun gedung tanpa kepala kerbau?" tutur Permadi.
Konsultasi ke dukun untuk menang pemilu, menurut pengamat politik Ray Rangkuti, adalah perilaku menggelikan. Bagi Ray, fasilitas ilmu pengetahuan untuk mengukur tingkat keterpilihan di masyarakat bisa menggunakan survei atau yang lainnya. "Mungkin orang masih percaya dukun untuk menang pemilu karena pengalaman masa lalunya dan kurang percaya diri," kata Ray saat dihubungi secara terpisah Jumat pekan lalu.
Ray menyayangkan masih ada politisi masih mempercayai dukun untuk mengambil hati rakyat dan memenangkan pemilu. Dia menyarankan sebaiknya mereka menggaet pemilih dengan visi dan misi bagus. "Kalau masih ada yang menggunakan dukun, kita tidak perlu pakai demokrasi."

Praktik Perdukunan jaman sekarang
Kemajuan peradaban manusia, seringkali diukur dengan kemajuan teknologi dan semakin lepasnya masyarakat dari praktik-praktik berbau tahayul. Namun begitu, di zaman sekarang ini praktik perdukunan justru marak bak cendawan di musim penghujan.
Penting diketahui, sebenarnya praktik perdukunan bukanlah khas masyarakat tribal (kesukuan) dan tradisional yang melambangkan keterbelakangan. Bangsa maju dan modern di Eropa dan Amerika yang mengagungkan rasionalitas juga punya sejarah perdukunan, berwujud santet (witchcraft).
Di Indonesia, praktik perdukunan memiliki akar kuat dalam sejarah bangsa, bahkan dukun dan politik merupakan gejala sosial yang lazim. Kontestasi politik untuk merebut kekuasaan pada zaman kerajaan di Indonesia pramodern selalu ditopang kekuatan magis.
Semuanya ini memberikan gambaran yang nyata, bahwa perdukunan memang sudah dikenal lama oleh masyarakat kita. Dan ilmu ini pun turun-menurun saling diwarisi oleh anak-anak bangsa, hingga saat ini para dukun masih mendapatkan tempat bukan saja di sisi masyarakat tradisional, tetapi juga di tengah lingkungan modern.
           
alhasil kini mereka yang pergi ke dukun kemudian percaya pada kekuatan magis dan menjalankan praktik perdukunan tak mengenal status sosial: kelas bawah, menengah bahkan atas. Sensasi para dukun itu mampu melampaui semua tingkat pendidikan. Banyak di antara mereka yang datang ke dukun merupakan representasi orang-orang terpelajar yang berpikiran rasional.
Sebenarnya, dukun atau paranormal tidak ada bedanya, karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  mengemukakan, bahwa paranormal adalah nama lain dari dukun dan ahli nujum (Fathul Majid, hal. 338). Maka, dukun atau paranormal adalah dua nama yang saling terkait, kadang salah satunya menjadi penanda bagi yang lainnya.
Belakangan, di tanah air kita, fenomena perdukunan dan ramalan semakin menggeliat seiring dengan suasana yang kondusif bagi para pelakunya untuk tampil berani tanpa ada beban. Berapa banyak iklan-iklan yang menawarkan jasa meramal cukup via SMS, yang dalam istilah mereka bermakna Supranatural Messages Service. Atau juga, praktik pengobatan alternatif yang sudah menjadi suguhan iklan harian di koran-koran dan tabloid.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar