Pemilu
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan program
pemerintah setiap lima tahun sekali dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia.
Pemilu merupakan implementasi dari salah satu ciri demokrasi dimana rakyat
secara langsung dilibatkan, diikutsertakan didalam menentukan arah dan
kebijakan politik Negara untuk lima tahun kedepan.
Pada saat ini pemilu secara nasional
dilakukan dua macam yaitu pemilihan anggota legislatif (Pileg) dimana rakyat
memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif baik anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Disamping itu diselenggarakan pula
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat
sesudah Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan.
Selain hal tersebut masing-masing daerah juga
dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur serta Pemilihan Bupati/Walikota dan Wakilnya yang langsung
dipilih oleh rakyatnya juga.
Penyelenggaraan pemilu yang selama ini
terkesan kaku, dengan segala kompleksitas persoalan yang mengiringinya, bagi
beberapa kalangan, tentu mendatangkan kejenuhan. Intrik politik yang dibarengi
kecurangan dengan menghalalkan berbagai cara, bisa memunculkan sikap apatisme
pada proses pemilu itu sendiri. Dalam konteks ini, membayangkan sebuah pemilu
yang bisa menghibur dan membuat semua orang menjadi senang, bukan sekadar
pemilihan, namun menjadi sebuah pesta demokrasi yang menghibur menjadi
tantangan tersendiri bagi KPU dan seluruh pihak yang berkepentingan dengan
pemilu.
Mengutip petikan wawancara Ketua KPU, Husni
Kamil Manik ketika berbincang dengan pimpinan redaksi dan para pewarta Jawa
Pos, di kantor Jawa Pos, Gedung Graha Pena, Jakarta, Kamis (14/2/2013) yang
lalu, tentang harapannya bahwa pemilu itu bukan hanya intrik politik, adu
strategi antar kandidat untuk menjadi pemenang. Tapi harusnya juga bisa
dinikmati oleh seluruh rakyat, sebagai sebuah pesta demokrasi, sebagai hiburan.
Jangan lagi ada kekerasan, yang ada adalah kegembiraan. Jika penyelenggaraan
pemilu dapat terlaksana seperti apa yang dibayangkannya, menurut Husni, tingkat
partisipasi masyarakat juga pasti akan tinggi.
Hal ini kemudian menjadi target bagi KPU
sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri
sebagaimana amanat dari Undang – Undang NKRI tersebut. Dengan keyakinan itu
pula, KPU secara gamblang memprediksi pada Pemilu 2014 nanti, tingkat
partisipasi masyarakat diharapkan bisa mencapai minimal 75 persen. Angka
peningkatan partisipasi masyarakat dapat terwujud secara kuantitas maupun
kualitas.
Untuk mencapai target tersebut, KPU akan
menggagas program-program yang bisa dinikmati oleh masyarakat, namun dengan
biaya yang relatif murah. Salah satu program yang akan menggelar oleh KPU
berupa kegiatan “jalan sehat untuk pemilu sehat” yang diikuti serentak oleh
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota se-Indonesia. Ide tersebut dianggap
tidak mahal, namun menyenangkan banyak orang. Dan tidak menutup kemungkinan
dilaksanakan kegiatan lain, misalnya mengadakan event-event olahraga, atau
apa saja. Intinya kegiatan yang bisa menggiring persepsi dan pemahaman semua
orang bahwa pemilu itu sesuatu yang menghibur bagi masyarakat.
KPU tentu saja tidak dapat mewujudkan gagasan
menjadikan pemilu sebagai sebuah electainment itu sendirian. Semua
pihak yang memiliki kepentingan dengan pemilu, harus turut memainkan perannya
masing-masing dengan baik.
Di lain pihak, kekuasaan pemerintahan yang
ada saat ini tidak terlepas dari perjalanan politik di masa lalu. Hadirnya
penguasa atau pun para oposisi tidak serta merta muncul tanpa proses politik.
Mereka muncul setelah melalui proses panjang sejarah yang dilaluinya
lewat pertarungan politik, pembauran ideologi, konspirasi
internasional, serta aksi-aksi politik lainnya. Hingga akhirnya seperti
layaknya hukum barbar, siapa yang kuat maka merekalah yang bertahan. Gambaran
dan peta perpolitikan di Indonesia saat ini tidak lepas dari peran dan fungsi
partai politik dan masyarakat sendiri sebagai pelaku politik.
Partai politik dalam hubungannya dengan
sistem sosial politik memainkan berbagai fungsi, salah satunya pada fungsi
input, dimana partai politik menjadi sarana sosialisasi politik, komunikasi
politik, rekruitmen politik, agregasi kepentingan, dan artikulasi kepentingan.
Lalu apa sajakah sebenarnya fungsi partai politik dalam hubungannya dalam
kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pemilu,
apabila melihat keadaan sekarang dimana partai politik telah dipandang sebelah
mata oleh masyarakat yang merasa bahwa partai politik tidak lagi membawa
aspirasi masyarakat melainkan keberadaannya hanya dianggap sebagai kendaraan
politik yang dipakai oknum-oknum tertentu. Terlebih jumlah partai selama ini
sangat fluktuatif dan tidak jarang membingungkan masyarakat awam.
Periode awal kemerdekaan, partai politik
dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk
membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan, banyak juga calon-calon
independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955. Sistem
multi-partai terus dipraktekkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966.
Padahal pemilu 1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu
1977, jumlah partai politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi
yang disebut sebagai partai politik hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI.
Sedangkan Golkar tidak disebut sebagai partai politik, melainkan golongan karya
saja.
Tidak jarang banyaknya partai politik yang
membingungkan masyarakat dan adanya partai tidak lagi memiliki fungsi seperti
yang mereka harapkan membuat masyarakat menjadi kurang motivasi untuk berperan
sebagai pemilih dalam pemilu dan cenderung menjadi golput (golongan putih) yang
menolak memilih.
Dalam setiap Pemilu, masalah Golongan Putih
(Golput) sering menjadi wacana yang hangat dan krusial. Meski tidak terlalu
signifikan, tetapi ada kecenderungan atau trend peningkatan jumlah Golput dalam
setiap pemilihan. Bahkan Golput adalah jumlah terbesar di hampir setiap
pemilihan di gelar.
Hasil survei dari LSI (Lembaga Survei
Indonesia) merata-ratakan total partisipasi politik rakyat dalam Pilkada
sekitar 60 persen atau dengan kata lain rata-rata jumlah Golput mencapai 40
persen.
Sejatinya Golput adalah fenomena yang
alamiah. Fenomena ini ada di setiap pemilihan umum di manapun itu, tidak
terkecuali di Amerika Serikat. Hanya saja, tentunya hal ini di batasi oleh
jumlahnya. Di hampir setiap pemilihan, jumlah Golput akan di anggap sehat jika
jumlah Golput dalam kisaran angka 30 persen, meski banyak pemilihan jumlah
Golputnya melampaui titik itu, mencapai sekitar 40 persen.
Bagi sebagian kalangan, jumlah ini dinilai
normal dalam penerapan sistem demokrasi di sebuah Negara. Karena adalah
mustahil untuk meningkatkan partisipasi politik rakyat dalam Pemilu mencapai
100 persen. Begitu pun, besar kecilnya jumlah Golput akan sangat tergantung dan
maksimal tidaknya upaya yang dilakukan.
Sumber :