Sabtu, 03 Mei 2014

Karangan Populer

Pemilu
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan program pemerintah setiap lima tahun sekali dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Pemilu merupakan implementasi dari salah satu ciri demokrasi dimana rakyat secara langsung dilibatkan, diikutsertakan didalam menentukan arah dan kebijakan politik Negara untuk lima tahun kedepan.
Pada saat ini pemilu secara nasional dilakukan dua macam yaitu pemilihan anggota legislatif (Pileg) dimana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif baik anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Disamping itu diselenggarakan pula Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat sesudah Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan.
Selain hal tersebut masing-masing daerah juga dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Pemilihan Bupati/Walikota dan Wakilnya yang langsung dipilih oleh rakyatnya juga.
Penyelenggaraan pemilu yang selama ini terkesan kaku, dengan segala kompleksitas persoalan yang mengiringinya, bagi beberapa kalangan, tentu mendatangkan kejenuhan. Intrik politik yang dibarengi kecurangan dengan menghalalkan berbagai cara, bisa memunculkan sikap apatisme pada proses pemilu itu sendiri. Dalam konteks ini, membayangkan sebuah pemilu yang bisa menghibur dan membuat semua orang menjadi senang, bukan sekadar pemilihan, namun menjadi sebuah pesta demokrasi yang menghibur menjadi tantangan tersendiri bagi KPU dan seluruh pihak yang berkepentingan dengan pemilu.
Mengutip petikan wawancara Ketua KPU, Husni Kamil Manik ketika berbincang dengan pimpinan redaksi dan para pewarta Jawa Pos, di kantor Jawa Pos, Gedung Graha Pena, Jakarta, Kamis (14/2/2013) yang lalu,  tentang harapannya bahwa pemilu itu bukan hanya intrik politik, adu strategi antar kandidat untuk menjadi pemenang. Tapi harusnya juga bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, sebagai sebuah pesta demokrasi, sebagai hiburan. Jangan lagi ada kekerasan, yang ada adalah kegembiraan. Jika penyelenggaraan pemilu dapat terlaksana seperti apa yang dibayangkannya, menurut Husni, tingkat partisipasi masyarakat juga pasti akan tinggi.
Hal ini kemudian menjadi target bagi KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana amanat dari Undang – Undang NKRI tersebut. Dengan keyakinan itu pula, KPU secara gamblang  memprediksi pada Pemilu 2014 nanti, tingkat partisipasi masyarakat diharapkan bisa mencapai minimal 75 persen. Angka peningkatan partisipasi masyarakat dapat terwujud  secara kuantitas maupun kualitas.
Untuk mencapai target tersebut, KPU akan menggagas program-program yang bisa dinikmati oleh masyarakat, namun dengan biaya yang relatif murah. Salah satu program yang akan menggelar oleh KPU berupa kegiatan “jalan sehat untuk pemilu sehat” yang diikuti serentak oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota se-Indonesia. Ide tersebut dianggap tidak mahal, namun menyenangkan banyak orang. Dan tidak menutup kemungkinan dilaksanakan kegiatan lain, misalnya mengadakan event-event olahraga, atau apa saja. Intinya kegiatan yang bisa menggiring persepsi dan pemahaman semua orang bahwa pemilu itu sesuatu yang menghibur bagi masyarakat.
KPU tentu saja tidak dapat mewujudkan gagasan menjadikan pemilu sebagai sebuah electainment itu sendirian. Semua pihak yang memiliki kepentingan dengan pemilu, harus turut memainkan perannya masing-masing dengan baik.
Di lain pihak, kekuasaan pemerintahan yang ada saat ini tidak terlepas dari perjalanan politik di masa lalu. Hadirnya penguasa atau pun para oposisi tidak serta merta muncul tanpa proses politik. Mereka muncul setelah melalui proses panjang sejarah yang dilaluinya lewat  pertarungan politik,  pembauran ideologi, konspirasi internasional, serta aksi-aksi politik lainnya. Hingga akhirnya seperti layaknya hukum barbar, siapa yang kuat maka merekalah yang bertahan. Gambaran dan peta perpolitikan di Indonesia saat ini tidak lepas dari peran dan fungsi partai politik dan masyarakat sendiri sebagai pelaku politik.
Partai politik dalam hubungannya dengan sistem sosial politik memainkan berbagai fungsi, salah satunya pada fungsi input, dimana partai politik menjadi sarana sosialisasi politik, komunikasi politik, rekruitmen politik, agregasi kepentingan, dan artikulasi kepentingan. Lalu apa sajakah sebenarnya fungsi partai politik dalam hubungannya dalam kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pemilu, apabila melihat keadaan sekarang dimana partai politik telah dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang merasa bahwa partai politik tidak lagi membawa aspirasi masyarakat melainkan keberadaannya hanya dianggap sebagai kendaraan politik yang dipakai oknum-oknum tertentu. Terlebih jumlah partai selama ini sangat fluktuatif dan tidak jarang membingungkan masyarakat awam.
Periode  awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan, banyak juga calon-calon independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955.  Sistem multi-partai terus dipraktekkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966. Padahal pemilu 1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu 1977, jumlah partai politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi yang disebut sebagai partai politik hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar tidak disebut sebagai partai politik, melainkan golongan karya saja.       
Tidak jarang banyaknya partai politik yang membingungkan masyarakat dan adanya partai tidak lagi memiliki fungsi seperti yang mereka harapkan membuat masyarakat menjadi kurang motivasi untuk berperan sebagai pemilih dalam pemilu dan cenderung menjadi golput (golongan putih) yang menolak memilih.
Dalam setiap Pemilu, masalah Golongan Putih (Golput) sering menjadi wacana yang hangat dan krusial. Meski tidak terlalu signifikan, tetapi ada kecenderungan atau trend peningkatan jumlah Golput dalam setiap pemilihan. Bahkan Golput adalah jumlah terbesar di hampir setiap pemilihan di gelar.
Hasil survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) merata-ratakan total partisipasi politik rakyat dalam Pilkada sekitar 60 persen atau dengan kata lain rata-rata jumlah Golput mencapai 40 persen.
Sejatinya Golput adalah fenomena yang alamiah. Fenomena ini ada di setiap pemilihan umum di manapun itu, tidak terkecuali di Amerika Serikat. Hanya saja, tentunya hal ini di batasi oleh jumlahnya. Di hampir setiap pemilihan, jumlah Golput akan di anggap sehat jika jumlah Golput dalam kisaran angka 30 persen, meski banyak pemilihan jumlah Golputnya melampaui titik itu, mencapai sekitar 40 persen.

Bagi sebagian kalangan, jumlah ini dinilai normal dalam penerapan sistem demokrasi di sebuah Negara. Karena adalah mustahil untuk meningkatkan partisipasi politik rakyat dalam Pemilu mencapai 100 persen. Begitu pun, besar kecilnya jumlah Golput akan sangat tergantung dan maksimal tidaknya upaya yang dilakukan.



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar